Setelah
dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 Indonesia melaksanakan demokrasi
parlementer yang disebut Masa Demokrasi Liberal. Pada saat itu Indonesia
dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang –
undang Dasar Sementara tahun 1950. Akibat pelaksanaan konstitusi tersebut,
pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin
oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
Demokrasi Liberal berlangsung selama hampir 9 tahun. Pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan
berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena dianggap
tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.
1. Pemikiran
Sosial Budaya Kabinet Moh.Natsir
Islam adalah agama yang mengajarkan pandangan hidup (way
of life) bagi seluruh umat manusia. Islam menekankan pentingnya menjaga
keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, material dan
spiritual, serta kesalihan pribadi dan kesalihan sosial.
Islam melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan
Allah SWT dimuka bumi dan harus melakukan perannya sebagai khalifah dan hamba
Allah SWT melalui karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh umat
manusia. Untuk mampu melakukan perannya secara baik, akal pikiran jiwa raga,
dan berbagai potensi lainnya harus dibina secara berkesinambungan.
Sarana yang paling efektif untuk melakukan pembinaan
manusia yang demikian itu adalah pendidikan yang diajarkan oleh Islam.
Pendidikan Islam telah mampu menjadikan rahmatan lil aalamin pada
masa dahulu selama berabad-abad di dunia.
Dalam buku Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan
Islam di Indonesia, Abuddin Nata, menjelaskan tentang gagasan dan pemikiran
pendidiksan Natsir ( 2005 : 81-94) yang secara ringkas sebagai berikut.
Pertama, tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam
hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
Pertama, pendidikan harus berperan sebagai
sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran
pendidikan tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani secara sempurna.
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk
menjadikan anak didik memiliki sifat- sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak
al - karimah yang sempurna.
Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai
sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang
hipokrit ).
Keempat, pendidikan agar berperan membawa
manusia agar dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan
manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya
selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
keenam, pendidikan harus benar- benar
mendorong sifat - sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu
menghilangkan dan menyesatkan sifat -sifat kemanusiaan.
Kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada
Allah yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secara total kepada
Allah. Menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada -Nya.
Kedua, tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut
Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam
yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yakni beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional
yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa
sebagai tujuan sentral.
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang
yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka
menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia,
menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an
surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya.
Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah
barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi -nabi -Nya serta memberikan harta yang
disayanginya kepada karib -karibnya, anak yatim, orang yang terlantar, orang
yang terputus uang belanjanya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia
dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji
apabila ia berjanji, bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah
adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama,
memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam
perilakunya sehari - hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan
sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan
dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan
vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat,
senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesama manusia dengan cara
memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima,
memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan
janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah
dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan
menakutkan.
Ketiga, tentang dasar pendidikan. Dalam
tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan,
M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada
seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia
berasal dari keluarga baik -baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat
tinggi. Telah banyak penemuan -penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan
telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari
-hari tak pernah tercela. Demikian pula pergaulannya selalu dengan orang yang
baik -baiknya, bahkan ia sendiri termasuk orang yang ramah.
Keempat, tentang ideologi dan pendekatan dalam
pendidikan. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan
dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya
adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada
rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 dengan judul -Ideologi Didikan Islam serta
dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 dengan judul Tauhid sebagai
dasar Pendidikan, dengan
gamblang menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari
dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi
pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan
harmonis menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan
pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan
keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang
ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui
himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas
yang sama dengan pandangan Natsir ini.
Kelima, tentang fungsi bahasa asing. Menurut
Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan
kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini, Natsir selalu ingat pada ucapan Dr.G.
Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan mengetahui salah satu bahasa Eropa,
yang terutama sekali bahasa Belanda, masyarakat bumi putra dapat mencapai
kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
Lebih lanjut Dr. Drewes sebagaimana dikutip oleh
Natsir mengatakan bahwa sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa adalah
bahasa ibunya sendiri. Bahasa erat kaitannya dengan corak berpikir suatu
bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung dari
kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat
-sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh
bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Sejalan itu, maka bahasa
merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu
bangsa. Bahasa ibu, bahasa kita sendiri. Adalah menjadi syarat bagi tegaknya
kebudayaan kita.
Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap
bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para
siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah
-langkah antara lain .
1.
Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau
anti-Islam yang diciptakan oleh kolonial linguistik dan
penguasa pribuminya yang taat dan setia.
2.
Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus
diakui dan bahasa Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3.
Negara -Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa
Arab, harus menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional
ibunya.
Keenam, tentang keteladanan guru. Menurut
DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu bangsa tidak akan
maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut
pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat itu minat kalangan
akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru. Berkaitan dengan masalah ini,
Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka : Sekarang saya mempropagandakan
pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak -anak saya. Pernyataan
kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan
HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru -guru di Indonesia. Dari
ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya (
alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai pos.
Sistem pendidikan Belanda memang betul dapat
memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan
oleh zaman, tapi sayang jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki
landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan
madrasah memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak
memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi
kebutuhan masyarakat sekarang.
2.
Keuntungan dan Akibat MSA bagi Indonesia Kabinet
Sukiman
Adanya Pertukaran Nota Keuangan
antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat
Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah
Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI
diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang
bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan
Indonesia ke dalam blok barat.
Menurut
saya keuntungan dari perjanjian ini adalah Indonesia bisa lebih berkembang dari
segi ekonomi karena mendapat dukungan dari Amerika Serikat yang menganut paham
liberal. Oleh karena itu secara tidak langsung Indonesia juga menganut sistem
ekonomi liberal sehingga timbul peningkatan ekonomi, walaupun tidak terlalu
memberi dampak terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Indonesia juga mendapat
bantuan militer dari Amerika Serikat.
Akibat dari perjanjian ini adalah Indonesia oleh mata dunia dipandang sebagai
sekutu Amerika Serikat dan masuk kedalam Blok Barat yang jelas menyimpang dari
prinsip politik luar negeri Indonesia yaitu bebas aktif. Dan juga ini
menyebabkan Kabinet Sukiman lengser.
3.
Peristiwa
Tanjung Morawa Kabinet Wilopo
Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatera
Utara merencanakan untuk mencetak sawah percontohan di bekas
areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian, Tanjung Morawa.
Akan tetapi areal perkebunan itu sudah ditempati oleh penggarap liar. Di antara
mereka terdapat beberapa imigran gelap Cina.
Usaha pemerintah untuk memindahkan para penggarap dengan memberi
ganti rugi dan menyediakan lahan pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan
Tani Indonesia (BTI), organisasi massa PKI. Oleh karena cara
musyawarah gagal, maka pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa
mentraktor areal tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk
menggagalkan usaha pentraktoran, BTI mengerahkan massa yang sudah mereka
pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar Tanjung Morawa. Mereka
bertindak brutal. Polisi melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi
tidak dihiraukan, bahkan mereka berusaha merebut senjata polisi. Dalam suasana
kacau, jatuh korban meninggal dan luka-luka.
4.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli
1953-12 Agustus 1955)
Kabinet Ali merupakan
kabinet keempat yang tidak mendapat dukungan Masyumi, namun kabinet Ali ini
mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan
dalam kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana
Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia Raya PIR).
Dalam Kabinet Ali,
Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam
hal ini NU kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik baru. Maka dari
itu, terjadilah koalisi antara PNI dan NU. Mengapa Masyumi tidak ikut serta
sehingga menjadi pihak oposisi? Hal ini karena adanya beberapa perbedaan dan
arah tujuan di antara kalangan politik pada waktu revolusi.
Perseteruan antara Presiden dan Masyumi
terjadi pada saat Kabinet Sukiman. Seperti yang terjadi perbedaan pendapat
antara Sukarno yang tidak setuju tentang perdamaian dengan Jepang, dan
penerimaan bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya dengan Sukiman yang akan
melakukan pembersihan terhadap PKI. Meskipun begitu Sukarno tetap menahan diri.
Kabinet Sukiman menjadi paling terkenal dengan dilakukannya satu-satunya usaha
yang serius pada masa itu untuk menumpas PKI. Kaum PKI menjadi komunis
menjadi marah dengan bersedianya PNI bergabung dalam suatu koalisi dengan
Masyumi, karena strategi mereka sangat tergantung pada kedua partai itu masih
terus bertikai satu sama lain.
Selanjutnya pada kabinet Wilopo
perdebatan antara Sukarno dengan Masyumi menyangkut masalah ideologi atau dasar
negara Indonesia. Sukarno pernah berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan
tanggal 27 Januari 1953. Pada kesempatan itu pula ia berpidato tentang
keinginan negara nasional dan bukan negara berdasarkan Islam. Pernyataan
Sukarno itu mendapat tanggapan berbagai kalangan, khususnya tokoh-tokoh
Masyumi.
Keterlibatan PKI sejauh ini belum
terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena saat itu sedang memanasnya
hubungan Sukarno dengan Partai Masyumi. Setelah kabinet Wilopo mengembalikan
mandatnya kepada Presiden, Kabinet Ali I mulai menjalankan pemerintahan pada
tanggal 12 Maret 1953. Pada masa inilah untuk pertama kalinya Masyumi tidak
duduk dalam kabinet, sehingga menempatkan Masyumi dalam partai oposisi.
5.
Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955-3
Maret 1956)
Kabinet Ali
selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap
berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi. Prestasi gemilang
Kabinet Burhanudin Harahap adalah keberhasilannya menyelenggarakan pemilu
pertamam kali pada tahun 1955.
Pendaftaran pemilih dalam Pemilu 1955
mulai dilaksanakan sejak bulan Mei 1954 dan baru selesai pada November.
Tercatat ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari
jumlah itu, sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada
saat itu. Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan
perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu
mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan
hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan
Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208
daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000
penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai
politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR
hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi. Sesuai dengan tujuannya pemilu
1955 dibagi menjadi 2 tahap yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR dan Pemilu
untuk memilih anggota konstituante.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante,
juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni
1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia
wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR,
Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Meskipun Kabinet Ali Jatuh,
pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu
yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia
datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan
dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak
manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun
1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai
sekarang.
Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi
sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya
selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan
suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah
yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah
yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada
lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan
suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik.
Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat
sampai ke tingkat desa. Partai-partai berjuang untuk merebut simpati
rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye
simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa
ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk
menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955
menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai
perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium
panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya
terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah
kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban
biaya
6.
Analisis Gerakan Assaat pada masa Kabinet
Sasroamidjojo !
Pada
masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu
gerakan yang diprakarsai Mr.Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan
dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan
"pribumi". Mr.Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang
dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk
menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia
maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus
terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program anti
Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak
boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa
sebagai golongan yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa
golongan keturunan Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan
sebagai "asli”.
7. Kabinet
Djuanda/Karya (9 April 1957-5 Juli 1959)
Kabinet Djuanda merupakan kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya.
Kabinet ini dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang
Dasar pengganti UUDS 1950 serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai
politik. Kabinet ini dipimpin oleh Ir. Juanda yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno
tanpa melalui Formatur. Kabinet djuanda sering disebut kabinet karya karena
disusun berdasarkan konsep Zaken Kabinet. Salah satu perstasi
Kabinet Djuanda ada;ah menentukan garis kontinental batas wilayah laut
Indonesia melalui deklarasi djuanda.
Keterkaitan Deklarasi Djuanda Dengan Teritorial Indonesia
Secara geografis, negara Indonesia
adalah negara kepualan dengan lautan yang sangat luas dan ribuan pulau besar
dan kecil. Pada awal kemerdekaan, kekayaan alam di lautan belum dapat dikuasai
secara penuh negara Indonesia. Waktu itu tidak semuanya merupakan laut
territorial, melainkan sebagian merupakan laut bebas dan laut internasional.
Hal ini dikarenakan Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait
dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam
pasal 1 menyatakan bahwa:
“Laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah
(laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian
dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”
Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia
jelas merasa dirugikan karena kesatuan wilayah Indonesia tidak utuh, batas
3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan
pulau-pulau di Indonesia, sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak
dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk
melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia, dan kekayaan alam yang
terdapat di luar 3 mil tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan oleh Indonesia.
Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan
hukum teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:
”Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau
atau bagan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan
tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada
wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian
dari pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada
Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman
ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan/ menganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.
Dari deklarasi tersebut dapat kita lihat
bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat
dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai
perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia
yaitu mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut
bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai
Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957
oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja.
Deklarasi Djuanda mengandung konsep
bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan
pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai
alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional yang terkenal dengan
sebutan wawasan nusantara. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita
diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau
terluar. Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari
sebelumnya hanya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2. Dikeluarkannya Deklarasi
Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan hukum
laut Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut
ini, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan
negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui konferensi Jeneva
pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam
deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic State
Principle atau negara kepulauan.
Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima
di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang
ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The
Law of The Sea/UNCLOS 1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifkasinya
dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah
negara kepulauan. Setelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun,
akhirnya pada 16 November 1994, setelah diratifkasi oleh 60
negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional. Upaya ini
tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai
konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga tahun
1990an. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13 Desember
dicanangkan sebagai hari Nusantara dan ketika masa Presiden Megawati
dikeluarkan keputusan Presiden No. 126/2001 tentang hari Nusantara dan tanggal
13 resmi menjadi hari perayaan nasional.
Munculnya PRRI/ Permesta
Munculnya pemberontakan PRRI dan
Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam Angkatan Darat, berupa
kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal
ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah.
Ada ketidak adilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah
terhadap pemerintah pusat dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut
diwujudkan dengan pembentukan dewan - dewan daerah sebagai alat pejuang
tuntutan pada Desember 1056 dan Februari 1957.
Dewan – dewan ini bahkan kemudian
mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah diwilayahnya masing – masing.
Beberapa tokoh sipil dari pusat pun mendukung meraka bahkan bergabung
kedalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad
Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi
krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal.Ahmad Husein lalu mengultimatum
pemerintah pusat, menuntut agar kabinet Djuanda mengundurkan diri dan
menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak oleh
pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak pada tanggal 15 Februari 1958
Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di
Sumatera dianggap mengikuti pemerintah ini. Sebagai perdana menteri PRRI
ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Bagi Syarifuddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk
menyelamatkan negara indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu
mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh – tokoh sipil yang ikut dalam PRRI
sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita
proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias oleh para tokoh masyarakat
Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan
mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesra sekaligus memutuskan hubungan
dengan pemerintah pusat (kabinet Djuanda).
Pemerintah pusat tanpa ragu – ragu
langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak
yang diam – diam ternyata didukung oleh Amerika Serikat. AS berkepentingan
dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat
indonesia yang bisa saja dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan
PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
Upaya Pemerintah Untuk Menumpas
Pemberontakan PRRI dan Permesta adalah :
1. Dalam
mengatasi dewan banteng pemerintah mengirimkan komisi penyelidiki keadaan untuk
mengetahui lebih dalam tentang tujuan - tujuan. Akan tetapi penyelidikan ini
tidak berhasil karena A. Husein tidak mau berbicara kecuali dengan delegasi
resmi pemerintah pusat.
2. Dalam
menanggapi adanya ultimatum kabinet juanda memberikan tanggapan dengan
tindakan tegas yaitu memeacat A. Husein, simbolon, zulkifli lubis. Yang
kemudian disusul dengan gerakan KSAD Nasution pada tanggal 12 februari
1958 dengan membekukan daerah komando sumatra tengah.
3. Dengan
diproklamirkan PRRI pada tanggal 15 Februari 1958. Maka KSAD memutuskan adanya
operasi meliter yaitu operasi 17 agustus operasi gabungan AD, AL dan AU
yang dipimpin oleh A. Yani.
4. Dalam
menghadapi Permesta pemerintah melakukan pemecatan terhadap Somba dan mayor
Runturambi dan dilanjutkan dengan Insaf yang dipimpin oleh letkol jonosewojo.
Yang kemudian untuk menangani pengeboman manado, gororontalo, jailolo, dan
morotai oleh AUREV operasi Merdeka yang terdiri dari operasi Saptamarga dan
operasi Mena. Dengan penguasaan terhadap kota - kota basis PRRI dan Permesta.
Hingga pada tahun 1961 perlawanan bereakhir dengan menyerahnya pimpinan PRRI
dan Permesta.